Bencana Sumatra: Ujian Keimanan dan Partisipasi Umat dalam Demokrasi
Banjir bandang yang melanda Sumatra pada akhir November hingga Desember 2025 bukan sekadar cobaan alam, melainkan ujian keimanan bagi bangsa Indonesia. Sebagai umat yang beriman, kita percaya bahwa setiap musibah mengandung hikmah dan pelajaran yang mendalam.
Tragedi Kemanusiaan yang Menggugah Hati
Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 14 Desember 2025 mencatat 1.016 jiwa melayang dan 212 orang dinyatakan hilang akibat bencana ini. Ratusan ribu saudara kita mengungsi, sementara kerusakan fisik mencapai puluhan triliun rupiah dengan biaya rekonstruksi diperkirakan Rp 51,82 triliun.
Dalam pandangan Islam, bencana adalah peringatan Allah SWT agar kita kembali kepada jalan yang benar. "Dan sesungguhnya Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Respons Negara: Antara Harapan dan Kenyataan
Bagi saudara-saudara kita yang selamat dari banjir bandang, bencana ini menjadi pengalaman spiritual sekaligus politik. Mereka menyaksikan bagaimana negara hadir atau justru absen dalam situasi darurat yang membutuhkan kepedulian dan tindakan nyata.
Keterlambatan respons negara tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga mengikis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin mereka. Dalam konsep efikasi politik, hal ini dapat merusak keyakinan bahwa suara rakyat bermakna dan negara dapat diandalkan.
Kebangkitan Kesadaran Politik Umat
Namun, sebagai bangsa yang beriman, kita tidak boleh terjebak dalam sikap apatis. Justru pengalaman pahit ini dapat menjadi critical political awakening, kebangkitan kesadaran politik yang mendorong umat untuk lebih kritis dan selektif dalam menilai para pemimpin.
Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Hadis ini mengingatkan kita bahwa partisipasi politik adalah amanah dan tanggung jawab setiap muslim.
Dampak Jangka Panjang terhadap Demokrasi
Cara pemerintah menangani bencana Sumatra akan menjadi catatan dalam ingatan kolektif umat. Dalam konsep retrospective voting, pemilih akan menilai kandidat berdasarkan kinerja masa lalu, bukan janji-janji kosong kampanye.
Dua kemungkinan respons dapat muncul dari tragedi ini:
- Apatisme Politik: Kekecewaan mendalam yang mendorong umat menarik diri dari proses politik
- Kesadaran Kritis: Transformasi menjadi pemilih yang lebih selektif dan menuntut akuntabilitas
Hikmah dan Pelajaran untuk Bangsa
Sebagai bangsa yang mayoritas muslim, kita harus melihat bencana ini sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan gotong royong. Nilai-nilai Islam mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
Bencana Sumatra mengingatkan kita bahwa legitimasi politik tidak dibangun melalui retorika kampanye semata, tetapi melalui kehadiran nyata dalam situasi sulit rakyat. Para pemimpin yang benar-benar amanah akan hadir ketika umat membutuhkan, bukan hanya saat meminta suara.
Menuju Pemilu 2029: Memilih dengan Hati Nurani
Menjelang Pemilu 2029, umat Islam Indonesia harus menggunakan pengalaman bencana ini sebagai panduan dalam menentukan pilihan politik. Pilihlah pemimpin yang memiliki track record nyata dalam melayani rakyat, bukan yang pandai berjanji.
Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59) Ayat ini mengingatkan kita untuk memilih pemimpin yang benar-benar layak dipercaya dan bertakwa.
Semoga tragedi Sumatra menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam setiap cobaan, Allah selalu memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Mari kita jadikan momentum ini untuk membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan berkah.